AKU DAN KEHIDUPANKU
Dimana ada aku, disitu pula ada kehidupanku. Aku tau apapun yang aku jalani tidak pernah lepas dari apapun yang menuntunku tanpaku perintah, tanpaku bina, tanpaku rajut, tanpaku minta.
Aku adalah seseorang yang selalu menuruti dan mengikuti apapun kata hati serta pikiranku, tanpa ada yang menyuruh, tanpa ada yang menuntut untuk berbuat ini atau berbuat itu, karena kehidupanku aku yang menjalani, aku yang mengatur. Orang-orang disekitarku hanya hiasan, warna, dan semangat untukku.
Uri, begitu biasanya ku disapa disekolah atau dimanapun. Nama itu diambil dari nama lengkapku Citra Purira Adhmojo. Aku gadis berumur 17 tahun. Anak satu-satunya dari keluarga ternama dikotaku. Siapa yang tidak mengenal pengusaha sukses Sebastian Adhmojo. Aku sudah tidak mempunyai ibu, ibuku meninggal ketika aku masih duduk dibangku kelas 2 SMA tepatnya ketika umurku 16 tahun. Aku dan ayah sangat terpukul, tapi apalah yang dapat kami lakukan jikala takdir sudah berkata. Ibu meninggal karena kecelakaan yang menimpa ibu ketika ibu pulang dari boutiq kepunyaannya. Ibu seorang design ternama, ibu menciptakan karya-karyanya seperti sihir, dengan bahan yang sederhana dapat menghasilkan sesuatu yang sangat amat mewah. Aku sangat menyukai semua hasil karya ibu. Karena aku sangat amat menyayangi ibu, seperti ibu menyayangiku.
Hari ini aku bersekolah ditempat biasa aku bersekolah. Sekarang aku sudah duduk dibangku kelas 3 SMA, di SMA Internasional di kota besar yang aku tempati. Aku selalu menjadi juara umum sejak pertama kali aku bersekolah. Aku selalu tekun belajar, aku paling tidak suka membuang-buang waktu, aku lebih menyukai semua-
waktu kuhabiskan dengan setumpuk buku yang bersedia menungguku untuk membacanya. Aku masuk kelas unggulan dan selalu paling unggul disepanjang sejarah perjalanan sekolah ini, tepatnya kelas 3 IPA 1. Mungkin sekarang tidak menggunakan istilah 3 lagi tapi, 12. Tak apalah pada akhirnya tingkatannya sama.
“Hai!” Sapa Egi padaku sambil melambaikan tangannya. Aku hanya membalas dengan senyum karena aku terburu-buru. Banyak sekali hal yang harus aku selesaikan tapi, itu bukan pekerjaan rumah. Aku paling tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah disekolah, karena menurutku itu sama saja membodohi diriku sendiri dan guru mata pelajaranku.
“Auu!” Rintih seorang gadis dikelas yang baru saja ku lewati. Aku melihat sekilas. Aku menerka dia terpeleset, karena salah satu dari temannya memapahnya kekursi paling depan. Aku terus berjalan dengan terburu-buru sepanjang koridor sekolah hingga kutemukan tangga disela-sela kelas X-C dan X-D. Aku menaiki tangga dan menginjak anak-anak tangga secara bergantian. Ketika aku sampai dipuncak tangga tepatnya dilantai dua sekolah ku. Aku berjalan lurus menelusuri koridor. Aku melihat dari luar jendela kedalam kelasku. Aku melihat ada keributan disana. Aku masuk dan berkata, “Ada apa ini?”
Semuanya menoleh padaku, terdiam sesaat dan kemudian ribut kembali. Aku mendekati kerumbunan pemberontakan dikelas yang kupimpin. Mereka seperti para demonstran yang ingin harga BBM diturunkan ataupun minta sembako murah. Salah seorang siswi yang sering dipanggil Tiwi memegang selembar kertas yang kuketahui bahwa itu kertas pengumuman yang biasanya ditempel dipapan pengumuman tiap kelas.
Mungkin Tiwi mencabutnya dari papan pengumuman yang ada dikelas kami, karena lemnya masih berbekas di kertas itu. Tanpa minta izin terlebih dahulu aku mengambil kertas itu dari tangan Tiwi. Aku membaca kata demi kata hingga membentuk beberapa kalimat.
“Astaga!” Ucapku terkejut, sambil menutup mulutku dengan tangan kananku. Aku segera menyingkir dari kerumbunan ini. Aku berjalan kearah locker yang ada disisi kelas untuk meletakkan tasku, karena disitulah tempat tas para siswa-siswi berada.
Aku berlari dan menjatuhkan kertas itu dengan sengaja. Aku berlari menuju kantin mencari sahabatku yang paling dekat denganku. Aku menemukannya, dia sedang asyik menikmati sarapannya di kantin luas yang ada di SMA Nusantara Internasional. Aku duduk disebelahnya dan mengatakan apa yang ingin aku katakan.
“Aku masuk nominasi siswa terfavorit tahun ini.” Ucapku bangga.
“Lagi? ” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Caca. Caca memandangku dengan tatapan yang aneh, mengerikan tapi cukup lucu untuk seorang Caca.
“Iya, aku baru saja membacanya dipapan pengumuman. Sebenarnya bukan dipapan pengumuman tapi kertas pengumuman terbaru. ” Kata ku yang betul-betul bangga pada apapun yang kumiliki, karena itu semua hasil usahaku.
“Selamat. ” Ucap Caca sambil menjabat tanganku yang kelihatannya sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju kasir diikuti dengan langkahku.
“Berapa mba? ” tanya Caca kepada penjaga kasir.
“Sepuluh ribu. ” Jawab penjaga kasir itu dengan logat jawanya yang kental.
“Lalu, kapan kamu mulai kampanye dan minta dukungan ? ” Tanya Caca
“Aku tak punya waktu untuk itu. Aku hanya berharap ada keajaiban untukku supaya bisa mendapatkan apa yang aku dapatkan tahun lalu tanpa minta dukungan.”
“Apa itu semua bisa? Jelas tidak, kamu harus berusaha. ” kata Caca yang menatapku sambil berjalan menuju kelas kami diikuti dengan langkahku.
“Semoga saja Dewi Keajaiban berpihak pada ku. ” Ucapku penuh harap.
“Semoga, tapi berdoalah agar para Malaikat tidak jualan tahu.” Ucap Caca yang meledek lagu Dewi Lestari yang berjudul Malaikat Juga Tahu.
Tet…tet…tet… bel tanda masuk berbunyi. Aku dan Caca berlari untuk bisa sampai kekelas lebih cepat. Sesampainya dikelas aku langsung menuju lockerku untuk mengambil buku pelajaran yang akan dipelajari, setelah itu aku duduk ditempatku. Aku duduk paling depan barisan ketiga dari kanan dan kiri, bersebelahan dengan Caca, sahabatku.
Tap…tap…tap… Suara langkah guru Kesenianku yang terkenal kegalakannya dan selalu berbicara tentang seni dan yaaa hanya seni. Aku berharap hari ini tidak hanya aku dan Caca saja yang dapat menjawab pertanyaannya dengan benar. Karena setiap kali dia mengajar aku selalu menerka kalau kami akan mendapatkan test yang sangat amat susah hari ini setelah dia bercerita alat musik apa yang dipelajarinya tadi malam.
“Selamat Pagi!” Sapanya yang kelihatan tak berbeda dari sebelumnya, maklum lah dia tidak bisa berdandan selayaknya perempuan. Dia selalu berdandan menor, bedak tebal, lipstick tebal. Setiap kali aku melihatnya aku selalu berdoa, semoga saja aku tidak mendapatkan ibu mertua seperti dia.
“Pagi!” Jawab kami serempak.
“Hari ini tidak ada tes lisan, hanya saja hari ini tes praktek untuk vokal. ” Katanya santai tanpa beban memenuhinya.
“Huu! ” seru anak-anak yang tak suka dengan hal yang satu ini.
Satu per satu nama dipanggilnya. Sepertinya aku harus mendapatkan penyumbat telinga, semua suara yang ada dikelas ini sumbang, terkecuali Caca sang vokalis band sekolahku. Tentu saja semua anak yang ada dikelasku merasa berada dialam pentas penyanyi solo berbakat.
Tibalah saatnya namaku dipanggil. Aku maju dengan tenang, sabar dan tanpa beban karena itulah yang seharusnya aku lakukan. Suasana hening sejenak. Mereka memandangku seperti memandang bintang pentas yang tak pernah pentas, jelas saja tempat pentasku bukan dialam terbuka tapi, dikamar mandi rumahku. Aku mulai menyanyi, aku mengambil nada suara yang lumayan rendah agar dipertengahan aku dapat mengumandangkan falset andalanku. Aku menyanyikan lagu dari Gita Gutawa yang berjudul Alunan Sebuah Lagu. Aku sering sekali menyanyikannya, karena aku menyukai lagu yang penuh makna ini. Aku menyanyikannya hingga suaraku bergema dikelas. Aku berharap agar kelas lain tidak mendengarkannya, betapa malunya aku jika suaraku terdengar dikelas lain. Aku menghentikan lagu ini dengan akhiran yang sangat tidak kusukai, karena nada suaraku hampir habis.
Plok…plok…plok…Suara tepuk tangan berkumandang di kelasku seusai aku menyanyi. Mungkin mereka menyukainya tapi, menurutku itu buruk. Karena bu guru yang tadinya duduk sekarang berdiri dan menepukkan kedua tangannya.
“Musibah akan datang. ” Batinku waspada
“Bagus…Bagus… ” Ucapnya serius dengan senyum bertaburan diwajahnya.
Aku kembali ketempat dudukku, memandang Caca yang wajahnya ditekuk. Aku tak tau apa penyebabnya, aku berharap itu semua tidak ada hubungannya dengan aksi terpaksa kutadi.
Aku tak saling bicara dengan Caca sampai sekolah berakhir, karena sebagian besar waktuku, kuhabiskan diperpustakaan mencari bahan untuk menyelesaikan karya ilmiah terbaruku. Sedangkan Caca sibuk dengan band nya, mungkin dalam waktu dekat ini mereka mengikuti festival di salah satu acara ternama.
Sesampainya aku dirumah, aku langsung meluncur ke kamarku. Aku membanting tubuhku ke singgasanaku dimana tempatku bermimpi. Masih memikirkan apa yang seharusnya kulakukan selain berdoa untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bisa kudapatkan tahun lalu dengan susah payah. Aku juga memikirkan apa yang dipikirkan Caca saat ini, yaa aku hanya menerka saja mungkin saja Caca sedang memikirkan aksi yang tak kusukai tadi. Aku berharap semuanya baik-baik saja. Aku melelapkan diri serta batinku di sini, hingga aku terbangun nanti.
Beberapa hari ini aku tak saling sapa dengan Caca, padahal kami setiap hari bertemu. Aku berharap ini semua tidak buruk, karena sebagian besar waktu luangku selalu ku isi dengan keceriaan bersama Caca. Betapa kesepiannya aku menjalani apapun yang kusukai tanpa sahabat yang sangat amat mengerti aku dan kehidupanku, begitu juga sebaliknya.
“Aku tau apa yang sedang kamu pikirkan. Aku mengerti perasaanmu. ” Ucap Egi seperti bisa membaca pikiranku.
“Aku tidak pernah mengharapkan ini, aku tidak pernah minta dilahirkan hampir sempurna. Aku hanya menjalaninya apa adanya. ” Jawabku menatap wajahnya dengan penuh kesedihan yang mendalam dibatinku.
“Percayalah, dibalik semuanya selalau ada jalan. Kenapa kamu tidak berusaha mendekati Caca dan bicara padanya? ” katanya yang sepertinya benar-benar bisa membaca pikiranku.
“Aku tak yakin bisa, karena aku ditawar untuk masuk band sekolah ini menggantikan Caca, jelas saja Caca akan terpukul ketika tahu hal ini. Aku berharap semuanya tidak terjadi karena aku sudah mencintai hal-hal sederhana yang kupendam sendiri. ”
“Tapi, kamu tidak menerimanya kan? Kalau kamu menerimanya aku yakin kamu dan Caca pasti akan tambah renggang.” Kata Egi was-was.
“Jelas tidak, karena aku tau sebagian jiwa Caca ada pada bakatnya yang sangat amat dia banggakan.” Kataku yang benar-benar bingung apa yang seharusnya kulakukan.
“Ya, kamu yang sabar. Lagi pula besok lusa pemilihan siswa favorit dan kontes penyanyi solo.”
“Kontes penyanyi solo? ” Ulangku yang tidak mengetahui hal ini sama sekali.
“Iya, Caca mengikutinya. ” Jawabnya menatapku sangat amat meyakinkan.
“Baiklah, kurasa aku bisa memberikan dukungan kepadanya. ” kataku sambil beranjak dari tempat dudukku, meninggalkan Egi dan kelasnya.
Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Aku tak tau apa yang terjadi antara aku dan sahabatku yang terpenting dalam perjalanan hidupku. Apa yang Caca pikirkan? Apa Caca marah? Tapi, apa penyebabnya? Apa yang kupikirkan? Apa yang Caca sembunyikan dariku? Aku harus menyeledikinya. Harus.
Tap…tap…tap… suara langkah kakiku terdengar lebih cepat. Aku berlari disepanjang koridor kelas 2. Aku terus berlari menuruni tangga menuju ruang musik sekolahku. Langkahku terhenti ketika aku berada dikoridor tepat berada didepan ruang musik. Aku melihat separuh mengintip dari pintu luar ruangan. Disana ada Caca duduk sendiri mendekap gitar dan memetiknya seraya menyanyikan lagu yang sangat amat kukenal. Demi Cinta dari Kerispatih.
Caca menyanyikannya dengan suara yang sangat merdu. Aku terus menatapnya aku baru menyadari bahwa Caca menangis. Apa yang sedang Caca pikirkan? Mengapa hatiku serasa hancur diterpa ombak melihatnya? Tanpa basa-basi aku masuk keruangan itu. Aku menunggu Caca menghentikan lagunya. Caca tidak menyadari bahwa aku berada satu ruangan dengannya.
Ketika Caca mengakhiri lagunya Caca semakin menangis, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku mendekatinya dan memegang bahu kirinya dengan tangan kananku seraya berkata, “Ca, bisakah kamu menceritakan apa yang terjadi? ” Pintaku benar-benar mengharapkannya.
Caca hanya membalas dengan senyuman dan menyapu air matanya dengan punggung tangan kanannya. Kemudian Caca meninggalkanku. Aku terdiam, berjalan menunduk. Aku benar-benar merasa tak berharga, bahkan untuk sahabatku.
Hari demi hari terus berlalu berganti dengan hari selanjutnya. Tak terasa sudah seminggu kami tak saling bicara. Hari ini hari penentuan, siapa yang akan menjadi siswa favorit tahun ini? Siapa penyanyi solo yang benar-benar berbakat? Sayang aku tak bisa melihatnya karena aku juga harus berjuang diduniaku. Aku berharap kami berdua mendapatkan apa yang terbaik bagi kami.
Satu per satu nomor peserta dipanggil untuk menunjukkan bakatnya. Aku mendapatkan nomor paling akhir. Aku berharap ini bukan hari yang panjang. Aku tidak memperhatikan siapa-siapa saja yang maju, bakat apa yang mereka tunjukkan. Karna aku hanya memikirkan bagaimana diriku? Itu semua jadi tanda tanya besar untukku.
Tiba saatnya aku maju. Tanpa memperlihatkan bebanku aku naik keatas panggung yang didekorasi sedemikian rupa dengan santai seperti biasa. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untukku bisa kujawab dengan tepat tanpa ada kesalahan sedikitpun, aku hanya mempertunjukkan permainan biolaku, hanya itu, tak ada yang lain.
Plok…plok…plok…suara tepuk tangan bergemuruh diaula seusai semuanya selesai kulakukan. Aku turun dari panggung dan menuju kursi penonton tapi, kedengarannya ada yang memanggilku. Ya dia Egi. Aku mendekatinya. Dia hanya menyerahkan amplop merah untukku, kemudian Egi pergi. Sepertinya Egi menyembunyikan sesuatu. Dari siapa surat ini? Tak ada nama dan alamat pengirimnya.
Aku tak bisa membacanya sekarang, karena aku mendengar namaku dipanggil. Sepertinya untuk tahun ini aku yang terpilih menjadi siswa terfavorit. Aku naik keatas panggung untuk menerima penghargaan dan ucapan terima kasih. Sayang sekali Caca tidak melihatnya, Aku berharap dia datang supaya aku bisa memeluknya ketika aku turun dari sini, karena kutau jelas Caca yang selalu mendukungku begitupun sebaliknya. Suara tepuk tangan bergemuruh. Aku turun dari panggung dan langsung mengambil amplop berisi surat tanpa nama dan alamat pengirim. Aku membukanya dan membaca kata-kata yang ada ditulis rapi diselembar kertas seperti perkamen dalam amplop merah itu.
Untuk Sahabatku, Uri
Maafkan aku, aku pergi tanpa pamit, aku pergi tanpa pernah berkata apa penyebabnya. Selamat jika kamu terpilih menjadi siswa terfavorit tahun ini. Maaf jika aku tak bisa mengatakannya secara langsung dan memelukmu seusai pengumuman. Mungkin kamu dan aku tak akan bisa bertemu lagi, bercanda lagi seperti biasa karena saat kamu membaca surat ini aku tak ada lagi didunia ini. Terimakasih sudah menemaniku selama ini. Kamu sahabat terbaikku. Jika kamu merindukanku, ingatlah senyumku.
Sahabatmu, Caca
Aku berlari keluar aula. Berlari dan terus berlari. Aku berjalan dibawah hujan. Aku menangis ditengah hujan, tak ada yang bisa membedakan air mataku dan air hujan karena keduanya membasahi wajahku. Alam juga menangis karena kehilangan tawa dan suara merdu dari Caca. Aku benar-benar tak tau apa yang terjadi dengannya. Apa yang disembunyikannya? Aku melihat Caca. Caca memanggilku.
“Uri, Uri bangun! ” Pinta Caca. Aku terbangun dan langsung memeluk Caca sambil menangis ternyata aku hanya bermimpi. Untung saja semuanya hanya mimpi betapa sakitnya aku bila itu benar-benar terjadi. Caca melepaskan pelukanku seraya berkata, “Apa yang terjadi? ”
“Tidak ada apa-apa. ” Ucapku sambil menyapu airmataku dengan punggung tangan kananku.
“Ya sudah kalau tak mau cerita. Cepat bangun, temani aku belanja. ”
Aku beranjak dari tempat tidurku, tersenyum kembali. Ya Tuhan jangan pernah memberiku mimpi seperti itu lagi. Karna aku sayang kehidupanku yang penuh keceriaan, tawa dengan orang-orang disekitarku yang sangat amat ku sayangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar